Magnified Ordinary: Devy Ferdianto, dan the Art of Looking Closer

BACA DALAM BAHASA INGGRIS/READ IN ENGLISH

Beberapa seniman menghabiskan seluruh hidupnya untuk mencari ritme. Bagi Devy Ferdianto, ritme selalu ada–entah dalam bentuk tinta di atas kertas, alunan band jazz besar, atau dari keseharian yang berjalan tanpa rencana. Lahir di Sukabumi pada 1968, Devy telah menghabiskan lebih dari tiga dekade di dunia seni grafis, memperluas kemungkinan-kemungkinannya lintas batas dan lintas generasi.

Kehidupan   yang   Terpahat  dalam   Cetak   dan   Irama

Devy menempuh pendidikan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), tempat akar-akar teknik dasarnya tumbuh kuat. Namun rasa ingin tahunya membawanya lebih jauh, tepatnya ke Jerman lalu ke Kanada, di mana ia memperdalam keahliannya dan menyerap beragam budaya visual. Panutannya? Banyak, mulai dari Andy Warhol, Frida Kahlo, dan Raden Saleh. Dari Warhol, mungkin ia belajar untuk berani membengkokkan citra populer jadi sesuatu yang lebih menantang. Dari Kahlo, keberanian untuk menjadikan pengalaman pribadi sebagai mitologi kecil. Dan dari Raden Saleh, kesadaran bahwa sejarah seni Indonesia bukan cuma warisan, tapi juga tanggung jawab.

Meski sudah lebih dari tiga dekade berkarya, pameran tunggal pertama Devy terwujud tahun 2021. Selama menunggu, bukan berarti prosesnya berhenti. Dalam rentang waktu itu, ia mengajar, membimbing, mencetak, bereksperimen, living. Maka ketika akhirnya pameran tunggal itu berlangsung, yang muncul bukan lagi sebuah awalan, melainkan puncak perjalanan.

Tahun 2019, Devy pindah ke Bali. Dua tahun kemudian, ia mendirikan Devfto Printmaking Institute, studio independen yang membuka ruang belajar bagi seniman muda sekaligus membuat seni cetak lebih mudah diakses di Indonesia. Tempat ini lahir dari semangat yang sama seperti dirinya: terbuka, hangat, dan antusias untuk berbagi. Di studio ini jugalah, pada 10 Juli 2025, tim Ruang Arta Derau (RAD) melakukan wawancara video bersama Devy untuk persiapan pameran Magnified Ordinary.

Lewat pameran ini, Devy seolah ingin mengingatkan: the ordinary is never just ordinary. Segala hal yang dianggap “biasa” hanya menunggu untuk ditekan, dibentuk ulang, diperbesar, dan dilihat dengan cara yang baru.

Lensa  Convex   dan   Kehidupan   Sehari-hari

Di inti Magnified Ordinary, ada satu benda sederhana: lensa cembung. Dari permukaan, iyu hanya alat optik—sepotong kaca yang menonjol di tengah dan melengkung di tepi. Tapi di tangan Devy, benda ini berubah menjadi metafora tentang cara kita menjalani hidup.

Coba bayangkan. Hidup terasa paling jelas di bagian tengah. Itu adalah tempat kita berdiri, tempat hal-hal yang dekat dan personal. Tapi di tepinya, di mana waktu, kenangan, dan emosi mulai melengkung, segalanya jadi samar, kadang aneh, kadang surealis. Lensa cembung membuat hal itu terlihat nyata, itu membesarkan momen saat ini sekaligus mengingatkan bahwa tak ada yang benar-benar diam.

Devy bukan tipe seniman yang selalu merencanakan segalanya dengan detail. Ia membiarkan karyanya mengalir seperti harinya sendiri: spontan, responsif, dan tidak membatasi diri terhadap kebetulan-kebetulan yang mungkin terjadi. Ritme itu juga yang terasa dalam pameran ini. Selain di seni rupa, Devy juga punya kecintaan besar pada musik jazz. Ia bahkan menjadi konduktor Salamander Big Band, tempat ia memadukan ritme dan improvisasi—dua hal yang juga jadi napas dalam proses artistiknya. Belakangan, ia jatuh hati pada fotografi. Menurutnya, fotografi dan seni cetak seperti saudara dekat: sama-sama bermain dengan cahaya, eksposur, dan layer. Lensa cembung menjadi jembatan alami antara keduanya, menjadi alat yang merangkum pandangan luas ke dalam satu bingkai dengan tetap memperhatikan detail.

Hasilnya? Sekumpulan karya yang tidak sekadar menampilkan gambar. Setiap karya mengajak kita melihat ulang hal-hal yang kerap kita abaikan: the humble, the domestic, the repetitive. Seolah berbisik: ada makna tersembunyi di dalamnya.

Daily Life, Surreal Life, Still Life (Kehidupan Sehari-hari, Sureal, dan Diam)

Pameran ini berjalan di tiga lapisan yang saling bertaut, masing-masing menawarkan cara pandang yang berbeda.

Daily life Devy menangkap potongan momen yang sering luput: meja dengan sisa makanan, bayangan di lantai, gerak kecil yang diulang sampai-sampai tak disadari—seperti bermain dengan anjing kesayangan. Karya-karya ini terasa seperti catatan harian, bukan pengakuan, melainkan pengingat bahwa sebagian besar hidup terjadi dalam jeda kecil yang sering kita abaikan.

Surreal life. Jika kehidupan sehari-hari merekam yang tampak di luar, kehidupan sureal merekam yang ada di dalam—distorsi, gema emosi, ingatan yang membias lewat waktu. Di sini, lensa cembung jadi lebih playful: melengkungkan sudut, membengkokkan kenyataan. Rasanya seperti kejadian biasa yang berubah bentuk akibat terdistorsi memori.

Still life. Pada awalnya, still life mungkin terdengar paling klasik—benda-benda yang diam di tempatnya. Tapi di tangan Devy, diam itu terasa hidup. Ada waktu yang menetes di dalamnya, ada perenungan di setiap permukaan. Ia mengingatkan kita bahwa keheningan juga bisa bernapas, bahwa benda pun bisa menyimpan kenangan.

Ketiga lapisan ini membentuk satu konstelasi cerita yang tidak berurutan, tapi saling melengkapi. Fragmen demi fragmen memperbesar hal-hal yang biasa sampai terasa luar biasa. Magnified Ordinary tidak berteriak. Ia hanya berbisik. Ia tidak memimpin, tapi menuntun. Dan lewat itu semua, ia membawa kita lebih dekat pada tekstur hidup kita sendiri.

Melihat Lagi,   dengan   Cara   yang   Berbeda

Ada keheningan percaya diri dalam cara Devy menyusun pameran ini. Ia tidak mencari sensasi visual. Ia percaya pada kekuatan perhatian—pada kemampuan untuk menatap ulang, memperhatikan, memberi tempat bagi hal-hal kecil yang biasanya terlewat.

Karya-karya cetak dan foto di sini bukan sekadar latihan estetika. Mereka adalah renungan tentang waktu, ingatan, dan cara kita memandang sesuatu. Mereka menyeimbangkan presisi dengan kebetulan: antara kontrol seni cetak dan hasil jepretan kamera yang tidak bisa diprediksi. Di titik pertemuan keduanya, ada kebenaran kecil tentang pengalaman: bahwa hidup adalah gabungan antara yang kita bentuk dan yang datang tanpa rencana.

Tapi Magnified Ordinary bukan hanya tentang Devy. Pameran ini juga tentang masa depan seni cetak itu sendiri. Devy ingin menyalakan kembali rasa ingin tahu di kalangan seniman muda, menekankan bahwa seni cetak bukan hal usang, tapi praktik yang hidup, yang terus bisa berubah, relevan, dan mengejutkan. Di tangannya, seni cetak bukan cuma tinta dan kertas, tapi cara berpikir—cara memperlambat langkah dan benar-benar melihat.

Malam pembukaan di Ruang Arta Derau (RAD) pada 18 Juli 2025 membawa semangat itu ke ruang nyata. Dengan penampilan musik oleh Olen Rianto dan Jeko Fauzy, suasananya terasa seperti karya Devy sendiri: perpaduan antara presisi dan spontanitas. Bahkan, antusiasme yang tinggi membuat pameran ini diperpanjang hingga 18 Agustus 2025.


Bagi kami di RAD, Magnified Ordinary adalah pengingat yang subtle tapi kuat: untuk memperhatikan, berhenti sejenak, dan menyadari bahwa hal-hal kecil yang mengisi hidup kita itu sudah cukup luar biasa. Karya-karya Devy hanya menggeser pandangan kita sedikit saja, cukup untuk melihat yang familiar seolah-olah baru pertama kali. Karena sering kali, yang luar biasa itu sudah ada di depan mata. Kita hanya perlu lensa yang tepat untuk menemukannya.

Next
Next

Tegallalang Finesses: Potret Warisan Lokal dan Proses Sunyi di Baliknya