Sopan Santuy: Saat Tradisi Bertemu Playful Rebellion
Kita tahu sebuah pameran bakal menarik ketika namanya saja sudah seru untuk diucapkan: Sopan Santuy. Nama ini sebenarnya plesetan dari frasa sopan santun, yang–as we know– berarti tata krama atau etika sosial. Tapi di sini, ada twist-nya—santuy adalah slang untuk bersantai, tidak ribet, dan tidak mengambil hidup terlalu serius. Nah, vibe inilah yang ingin dibawa oleh pameran ini.
Group exhibition ini menampilkan empat seniman—Arwin Hidayat, Eka Sudarma Putra, Kuncir S.V, dan Surya Subratha—yang berasal dari latar belakang budaya berbeda, tapi memiliki satu benang merah: mereka semua kompak menghormati tradisi, lalu mengubahnya menjadi sesuatu yang baru. Mereka mengambil inspirasi dari kerajinan tradisional, tapi dengan sentuhan yang fresh dan “kekinian.”
Yang membuat pameran ini semakin spesial adalah chemistry antara para senimannya. Keempatnya bukan sekadar kolaborator—mereka adalah teman yang saling menghargai karya satu sama lain dan memiliki selera humor yang sama. Bahkan, nama Sopan Santuy lahir dari salah satu percakapan awal mereka di Ruang Arta Derau (RAD). Pas, kan? Bersama-sama, mereka menciptakan pameran yang terasa seperti inside joke yang kita semua diajak untuk ikut serta, sehingga kita pun bisa merasakan keseruannya. Jadi, kalau menyukai sesuatu yang tidak biasa, penuh humor, tapi tetap memiliki makna dalam, pameran ini adalah tempatnya.
Para Seniman: A Crew of Rule-Breakers
Sopan Santuy exhibition poster at Ruang Arta Derau
Dalam pameran seperti ini, senimannya sudah pasti menarik. Let’s meet them.
Arwin Hidayat adalah satu-satunya seniman Jawa dalam kelompok yang didominasi seniman Bali. Dibesarkan di Yogyakarta, Arwin tidak bisa lepas dari pengaruh Batik dan Wayang. Ia bahkan memilih mempelajari seni dekoratif tradisional alih-alih seni Barat di saat berkuliah. Tapi jangan salah—Arwin bukan sekadar tentang melestarikan tradisi. Ia menggunakannya sebagai batu loncatan untuk ide-ide modernnya. Untuk Sopan Santuy, ia menciptakan serangkaian gambar tinta berjudul Notes in Bali, terinspirasi dari stay singkatnya di RAD bersama istri dan anak perempuannya. Karya ini adalah perpaduan antara akar Jawanya dan energi vibrant yang ia temukan di Bali.
Eka Sudarma Putra, seorang seniman tato yang beralih menjadi pelukis, dikenal dengan garis-garis tegas dan penggunaan ruang negatif. Karyanya seperti visual punch yang menyegarkan. Untuk pameran ini, ia terinspirasi oleh Lamak, dekorasi tradisional Bali yang terbuat dari daun lontar. Tapi alih-alih mengikuti gaya lama, Eka menciptakan lampu patung 3D berjudul Keneketo. Nama ini berasal dari meme—Menyala Abangku—komentar yang sering muncul setiap kali ia mem-posting karyanya di media sosial.
Kuncir Sathya Viku tumbuh besar di tengah ritual dan simbol sakral Bali. Ayahnya adalah seorang pendeta Hindu, sehingga Kuncir akrab dengan rerajahan—bentuk seni sakral Bali yang menggabungkan simbol dan teks. Tapi alih-alih mengikuti cara tradisional, Kuncir memilih untuk play around. Gelisah dengan ekspektasi tradisi, ia berusaha mendobrak batasan dan mengeksplorasi kemungkinan baru. Setelah lulus dari ISI Denpasar dan bekerja sebagai desainer, ia mulai mengeksplorasi bagaimana seni tradisional Bali bisa berevolusi. Karyanya, Springrolls, adalah interpretasi modern Bali yang penuh warna dan sureal, lengkap dengan kemacetan, mikroba raksasa, dan bahkan buaya darat (alias playboy). Ini seperti surat cinta kacau dan satir untuk tanah kelahirannya.
Surya Subratha, yang termuda di kelompok ini, menempuh pendidikan seni rupa di Yogyakarta. Ini memberinya ruang untuk mengeksplorasi bahasa visualnya sendiri, jauh dari hiruk-pikuk Bali yang ia kenal. Seri Hello Summer-nya (dibuat saat ia tengah mempersiapkan pernikahannya) adalah perpaduan keramik, lukisan, dan animasi stop-motion. Ini semua tentang merangkul perubahan, bahkan ketika itu tidak nyaman. Salah satu patungnya menampilkan kaktus, terinspirasi oleh lanskap kering Uluwatu. Ini adalah pengingat bahwa pertumbuhan sering kali datang dari ketidaknyamanan dan situasi yang menantang, tetapi bahkan dalam kondisi sulit, sesuatu yang indah bisa tumbuh—dan terkadang, hal yang paling tangguh juga merupakan yang terbaik untuk lingkungan.
Pameran: Tradisi, But Make it Fun
Seperti yang dikatakan oleh Johan Huizinga dalam bukunya, Homo Ludens, budaya lahir dari permainan dan kreativitas—jadi untuk melestarikannya, kita harus terus mencipta.
Gagasan ini sangat relate dengan Sopan Santuy, di mana pameran ini menyeimbangkan tradisi dengan sentuhan playful. Para seniman di sini tidak menguliahi audiens tentang pentingnya melestarikan budaya. Mereka justru menunjukkan cara bersenang-senang sambil mem-preserve budaya.
Ambil contoh karya Batik Arwin. Batik adalah kerajinan tradisional Jawa, tetapi karya Arwin sama sekali tidak konvensional. Serinya, I Can Not Write but I Can Draw, adalah ledakan warna dan pola yang berani. Seolah ia berkata, ““Yeah, I respect tradition, but I’m also going to do my own thing,” yang beresonansi dengantransformasi kesadaran artistik dalam beberapa tahun terakhir, menarik perhatian pada hubungan antara filosofi tradisional, seni, dan modernitas.
I Can Not Write but I Can Draw #1
Batik hand dyed on cotton fabric
195x115cm, 2024
Lampu Keneketo Eka juga menonjol. Ini bukan sekadar objek; ini sebuah statement. Penutup stainless steel-nya menampilkan garis-garis tegas khasnya dan ever-seeing eye, diterangi cahaya merah. Ini playful, sedikit ada kesan ngeri, dan sangat Instagramable—cocok untuk pendekatan yang "kekinian". Material yang digunakan berefleksi seperti cermin, memberikan kesan futuristik berkat garis-garis tegas dan detail yang sleek. Lampu ini dipajang di atas alas bata merah, mengingatkan pada lingkungan tempat Eka tumbuh besar di Sanur. Karya ini sangat personal, mencerminkan nostalgia Eka dan ikatan kuatnya dengan masa kecilnya. Ini semua tentang akarnya dan hubungan yang ia bangun dengan lingkungannya sejak kecil. Seri ini mencakup elemen kayu dengan figur ukiran yang mengenakan topi petani, muncul dari kayu dan diterangi cahaya. Figur ini adalah penghormatan kepada kakeknya, yang memainkan peran penting dalam hidupnya. Bagi Eka, karya ini adalah perayaan kenangan masa kecil dan orang-orang yang membentuk dirinya hingga sekarang.
(Kiri) Kak Anyar - Seri Lamak
Kayu merbau dan media campuran
179x80x45cm, 2024
(Kanan) Keneketo - Seri Lamak
Stainless steel dan media campuran
70x32x48cm, 2024
Karya Springrolls Kuncir seperti campuran visual dari fever dream. Warna-warna cerah dan karakter surealnya menghormati seni tradisional Bali, tetapi kontennya adalah kekacauan modern. Ini adalah komentar tentang absurditas kehidupan di Bali saat ini, dari kemacetan hingga kutukan ilmu hitam. Kanvas panjangnya juga mengingatkan pada kulit springroll alias lumpia sebelum dilipat, membungkus campuran warna-warni yang saling melengkapi. Ini adalah metafora sempurna untuk identitas lokal—kaya, berlapis, dan menyatu dengan referensi global.
Springrolls 1
Akrilik di atas kertas
17.5x122cm, 2024
Sementara itu, seri Hello Summer karya Surya terasa seperti napas hangat setelah musim hujan. Perpaduan keramik dan animasi stop-motion-nya mengingatkan kita bahwa seni tidak harus serius untuk bermakna. Terkadang, tidak masalah hanya bersenang-senang dan melihat ke mana kreativitas membawa kita. Sekilas, karya ini mungkin terlihat sederhana untuk dibuat, tetapi ada kegembiraan dan keasyikan dalam prosesnya yang menular. Jelas terlihat dalam seri baru ini bahwa Surya benar-benar menikmati proses membuat dan menciptakan. Bagi Surya, seri ini menandai pergeseran menuju warna-warna yang lebih cerah dan medium baru. Keramiknya dipajang bersamaan dengan TV tabung lama yang memutar video stop-motion-nya, diiringi oleh suara gamelan yang diubah menjadi noise. Menariknya, musik gamelan tersebut dibuat oleh seorang musisi yang juga merupakan kerabat Surya.
Hello Summer #2
Audio “Beser Eman Subandi”
Format video Mp4 durasi 05:31, 2024
Menambahkan lapisan perspektif lain dalam pameran ini adalah Gek Sri (atau Sri W. Pande), yang menulis untuk katalog pameran. Berasal dari keluarga yang sangat terhubung dengan dunia seni, Gek Sri membawa apresiasi mendalam terhadap tradisi dan seni kontemporer.Tulisan-tulisannya tidak hanya menangkap esensi Sopan Santuy, tetapi juga menawarkan perspektif feminin yang compassionate kala membahas di persimpangan antara budaya, humor, dan kreativitas.
Pertanyaan Besar: What Are Rules for Anyway?
Sopan Santuy menantang gagasan tentang aturan—baik dalam seni maupun kehidupan. Para seniman ini tidak takut untuk melanggar pakem, dan mereka tidak berada di sini untuk mencari persetujuan siapa pun.
Ketika ditanya tentang etika menjadi seorang seniman, Kuncir memberikan jawaban sederhana: “Ada titik di mana kita merasa bosan ketika sudah terlalu jauh dalam berkarya.” Ini bukan tentang memberontak tanpa alasan, melainkan tentang mendorong batasan dan mengeksplorasi kemungkinan baru.
Di sisi lain, Eka melihat perubahan sebagai peluang. Pendekatan modernnya pada Lamak series adalah contoh sempurna. Meskipun beberapa orang mungkin menyayangkan peralihan dari daun lontar tradisional ke cetakan digital, Eka justru melihatnya sebagai kesempatan untuk memperluas perspektif dan avenue baru.
Lalu ada Surya, yang mengingatkan kita bahwa ketidaknyamanan adalah bagian dari pertumbuhan. Figur kaktusnya adalah metafora untuk ketangguhan—sesuatu yang pasti relate bagi banyak orang.
Sementara itu, Arwin Hidayat membawa perspektif unik sebagai satu-satunya seniman Jawa dalam pameran ini. One thing about Hidayat adalah ia menghasilkan banyak karya—begitu banyak sehingga seolah ia menantang gagasan eksklusivitas dalam seni. It’s refreshing, in a way. Tampaknya pendekatan ini terkait dengan kebutuhannya untuk mengekspresikan diri. Proses mencipta baginya adalah cara untuk menyampaikan pikiran dan emosi tanpa menyusun kata-kata. Ini terutama terlihat dalam karya seperti I Can Not Write but I Can Draw, di mana bahasa visualnya mendominasi.
Peran Ruang Arta Derau: The Perfect Playground
Sekarang, mari kita bicara tentang space yang mewujudkan pameran ini. Ruang Arta Derau (RAD). Terletak di Tegallalang, Bali, RAD bukan sekadar ruang seni—ini adalah creative hub yang mendorong kolaborasi, eksperimen, dan mendobrak batasan. Co-founded oleh Sekarputi, RAD bertujuan menciptakan platform untuk seni kontemporer yang berakar pada budaya lokal tetapi terbuka terhadap pengaruh global.
Untuk Sopan Santuy, RAD lebih dari sekadar venue—ruang ini adalah sumber inspirasi dan pendukung penuh visi para seniman. RAD berkomitmen besar untuk pameran ini, memastikan setiap detail mencerminkan semangat playful dan boundary-pushing para seniman. Malam pembukaannya membuktikan betapa besar komitmen RAD. Mereka menghadirkan Made Mawut, musisi blues yang direkomendasikan para seniman, untuk menambah keseruan suasana. RAD juga menyediakan fotografer profesional dari Lima5tudio untuk mengabadikan setiap momen.
(Dari kiri ke kanan) Kuncir S.V, Arwin Hidayat, Surya Subhrata, Eka Sudarma Putra, Gek Sri, Sekarputi
Selain itu, mereka mengadakan workshop Riso bersama Rinaldi dari Black Hand Gang, a renowned printmaking studio. Workshop ini menambah lapisan interaksi, mengundang pengunjung untuk terlibat langsung dalam proses kreatif.
Workshop riso bersama BHG
Misi RAD untuk memadukan tradisi dengan praktik seni kontemporer menjadikannya rumah yang sempurna untuk Sopan Santuy. Seperti kata Gek Sri, penulis pameran: “Humor selalu menyatukan orang, dan kita membutuhkannya untuk bertahan dalam hidup ini. Itulah mengapa bermain dan bersenang-senang penting untuk kebersamaan dan solidaritas.” Dan yah, itu benar. Suasana RAD yang hangat dan eksperimental memungkinkan para seniman untuk sepenuhnya merangkul semangat bermain dan kreativitas.
Dalam banyak hal, pameran ini adalah contoh nyata dari apa yang Johan Huizinga gambarkan dalam Homo Ludens—bahwa budaya lahir dari permainan, dan melalui kreativitas, kita menjaganya tetap hidup.